B) Dilatarbelakangi oleh
Perkembangan Sosio-Kultural dan Situsional.
Kerusuhan
Mei 1998
Para pelaku kerusuhan 13-15
Mei 1998 terdiri dari dua golongan yakni, pertama, masa pasif (massa pendatang)
yang karena diprovokasi berubah menjadi massa aktif, dan kedua, provokator.
Provokator umumnya bukan dari wilayah setempat, secara fisik tampak terlatih,
sebagian memakai seragam sekolah seadanya (tidak lengkap), tidak ikut menjarah,
dan segera meninggalkan lokasi setelah gedung atau barang terbakar. Para
provokator ini juga yang membawa dan menyiapkan sejumlah barang untuk keperluan
merusak dan membakar, seperti jenis logam pendongkel, bahan bakar cair,
kendaraan, bom molotov, dan sebagainya.
Titik picu paling awal kerusuhan di Jakarta terletak di
wilayah Jakarta Barat, tepatnya wilayah seputar Universitas Trisakti pada
tanggal 13 Mei 1998. Sementara pada tanggal 14 Mei 1998, kerusuhan meluas
dengan awalan titik waktu hampir bersamaan, yakni rentang antara pukul 08.00
WIB sampai pukul 10.00 WIB. Dengan demikian untuk kasus Jakarta, jika
semata-mata dilihat dari urutan waktu, ada semacam aksi serentak. TGPF (Tim
Gabungan Pencari Fakta) mendapatkan, bahwa faktor pemicu (triggering factor)
terutama untuk kasus Jakarta ialah tertembak matinya mahasiswa Trisakti pada
sore hari tanggal 12 Mei 1998.
Para pelaku kerusuhan dapat dibagi atas tiga kelompok
sebagai berikut:
1. Kelompok Provakator
Kelompok inilah yang menggerakkan massa, dengan
memancing keributan, memberikan tanda-tanda tertentu pada sasaran, melakukan
pengrusakan awal, pembakaran, mendorong penjarahan. Kelompok ini datang dari luar
tidak berasal dari penduduk setempat, dalam kelompok kecil (lebih kurang
belasan orang), terlatih (yang mempunyai kemampuan terbiasa menggunakan alat
kekerasan), bergerak dengan mobilitas tinggi, menggunakan sarana transport
(sepeda motor, mobil/Jeep) dan sarana komunikasi (HT/HP). Kelompok ini juga
menyiapkan alat-alat perusak seperti batu, bom molotov, cairan pembakar,
linggis dan lain-lain. Pada umumnya kelompok ini sulit dikenal, walaupun di
beberapa kasus dilakukan oleh kelompok dari organisasi pemuda (contoh di Medan
ditemukan keterlibatan langsung Pemuda Pancasila). Diketemukan fakta
keterlibatan anggota aparat keamanan, seperti di Jakarta, Medan, dan Solo (data
TGPF Kerusuhan Mei).
2. Massa Aktif
Massa dalam jumlah puluhan hingga ratusan, yang
mulanya adalah massa pasif pendatang, yang sudah terprovokasi sehingga menjadi
agresif, melakukan perusakan lebih luas termasuk pembakaran. Massa ini juga
melakukan penjarahan pada toko-toko dan rumah. Mereka bergerak secara
terorganisir.
3. Massa Pasif
Pada awalnya massa pasif lokal berkumpul untuk
menonton dan ingin tahu apa yang akan terjadi. Sebagian dari mereka terlibat
ikut-ikutan merusak dan menjarah setelah dimulainya kerusuhan, tetapi tidak
sedikit pula yang hanya menonton sampai akhir kerusuhan. Sebagian dari mereka
menjadi korban kebakaran.
Penyebab
Peristiwa kerusuhan tanggal 13-l5 Mei 1998 tidak
dapat dilepaskan dari konteks dinamika sosial politik masyarakat Indonesia pada
masa itu, yang ditandai dengan rentetan peristiwa Pemilu 1997, krisis ekonomi,
Sidang Umum MPR RI Tahun 1998, demonstrasi simultan mahasiswa, penculikan para
aktivis dan tertembaknya mahasiswa Trisakti. Pada peristiwa inilah rangkaian
kekerasan yang berpola dan beruntun yang terjadi secara akumulatif dan
menyeluruh, dapat dilihat sebagai titik api bertemunya dua proses pokok yakni
proses pergumulan elit politik yang intensif yang terpusat pada pertarungan
politik tentang kelangsungan rezim Orde Baru dan kepemimpian Presiden Suharto
yang telah kehilangan kepercayaan rakyat dan proses cepat pemburukan ekonomi.
Di bidang politik terjadi gejala yang
mengindikasikan adanya pertarungan faksi-faksi intra elit yang melibatkan
kekuatan-kekuatan yang ada dalam pemerintahan maupun masyarakat yang terpusat
pada isu penggantian kepemimpinan nasional. Hal ini tampak dari adanya faktor
dinamika politik seperti yang tampak dalam pertemuan di Makostrad tanggal 14
Mei 1998 antara beberapa pejabat ABRI dengan beberapa tokoh masyarakat, yang
menggambarkan bagian integral dari pergumulan elit politik. Di samping itu
dinamika pergumulan juga tampak pada tanggung jawab Letjen TNI Prabowo Subianto
dalam kasus penculikan aktivis.
Analisa ini semakin dikuatkan dengan fakta
terjadinya pergantian kepemimpinan nasional satu minggu setelah kerusuhan
terjadi, yang sebelumnya telah didahului dengan adanya langkah-langkah ke arah
diberlakukannya TAP MPR No. V /MPR/1998.
Di bidang ekonomi terjadi krisis moneter yang
telab mengakibatkan membesarnya kesenjangan sosial ekonomi, menguatnya persepsi
tentang ketikdakadilan yang semakin akut dan menciptakan dislokasi sosial yang
luas yang amat rentan terhadap konflik vertikal (antarkelas) dan horizontal
(antargolongan).
Di bidang sosial, akibat krisis bidang politik
dan ekonomi, nampak jelas gejala kekerasan massa yang eksesif yang cenderung
dipilih sebagai solusi penyelesaian masalah, misalnya dalam bentuk penjarahan
di antara sesama penduduk di daerah. Begitu pula adanya sentimen ras yang laten
dalam masyarakat telah merebak menjadi rasialisme terutama di kota-kota besar.
Di samping itu identitas keagamaan telah terpaksa digunakan oleh sebagian
penduduk sebagai sarana untuk melindungi diri sehingga menciptakan perasaan
diperlakukan secara diskriminstif pada golongan agama lain. Mudah dipahami
bahwa latar belakang kekerasan-kekerasan itu telah menjadikan peristiwa
penembakan mahawiswa Universitas Trisakti sebagai pemicu kerusuhan berskala
nasional.
Pada aras mikro (massa) dapat dianalisis bahwa
dari satuan unit wilayah (enam lokasi kota yang dipilih TGPF), terdapat
beberapa kesamaan, kemiripan, maupun variasi pola kerusuhan.
Pertama, di Jakarta pola umum kerusuhan terjadi
dalam empat tahap, yaitu:
(a) tahap persiapan/pra perusakan meliputi
aktivitas memancing reaksi dengan cara membakar material tertentu (ban, kayu,
tong sampah, barang bekas) dan atau dengan cara membuat perkelahian antar
kelompok/pelajar juga dengan meneriakan yel-yel tertentu untuk memanasi
massa/menimbulkan rasa kebencian seperti: "mahasiswa pengecut",
"polisi anjing;"
(b) tahap perusakan meliputi aktivitas seperti:
melempar batu, botol, mendobrak pintu, memecahkan kaca, membongkar sarana umum
dengan alat-alat yang dipersiapkan sebelumnya;
(c) tahap penjarahan meliputi seluruh aktivitas
untuk mengambil barang atau benda-banda lain dalam gedung yang telah dirusak;
(d) tahap pembakaran yang merupakan puncak
kerusuhan yang memberikan dampak korban dan kerugian yang paling besar.
Kedua, di Solo, TGPF menemukan fakta yang selain
memberi petunjuk jelas mengenai keterlibatan para preman termasuk organisasi
pemuda setempat, juga dari kelompok yang berbaju loreng dan baret merah
sebagaimana yang digunakan kesatuan Kopassus, dalam mengkondisikan terjadinya
kerusuhan. Kasus-kasus Solo, mengindikasikan keterkaitan antara kekerasan massa
di tingkat bawah dengan pertarungan elite di tingkat atas.
Ketiga, Surabaya dan Lampung dan dikelompakkan
menjadi satu kategori, karena beberapa ciri yang serupa. Di kedua kota ini,
kerusuhan relatif berlangsung cepat dan segara dapat diatasi, skalanya relatif
kecil dengan korban dan kerugian yang tidak begitu parah. Sekalipun pada kasus
kedua kota ini juga didapati "penumpang gelap" (free rider) dan
provokator lokal tetapi keduanya menunjukkan lebih menonjol sifat lokal,
sporadis, terbatas, dan spontan.
Keempat, kasus Palembang lebih tidak bersifat
spontan dibanding Surabaya dan Lampung. Para "penumpang gelap" atau
provokator lokal lebih berperan dan mengarah pada kerusuhan terencana dan
terorganisir dalam skala yang lebih besar.
Kelima, sedangkan kasus Medan, unsur-unsur penggerak
lokal dengan ciri preman kota lebih menonjol lagi. patut diingat, bahwa
kerusuhan di Medan sudah terjadi sepekan sebelum kerusuhan tanggal 13-15 Mei
1998 di lima kota lainnya, namun Medan merupakan titik awal rangkaian munculnya
secara nasional.
Dari uraian di atas, TGPF menemukan bahwa
kerusuhan di Jakarta, Solo, Medan mempunyai kesamaan pola. Sedangkan kerusuhan
di Palembang secara umum memiliki kesamaan dengan kerusuhan di Jakarta, Solo,
Medan namun memiliki ciri spesifik di mana provokator dan "penumpang
gelap" sukar dibedakan. Adapun kerusuhan yang terjadi di Lampung dan
Surabaya, pada hakekatnya menunjukkan sifat-sifat yang lokal, sporadis,
terbatas dan spontan.
Korban dan Kerugian
Tentang korban, selama ini dirasakan adanya kecenderungan
dari pemerintah, masyarakat termasuk mass media memusatkan perhatian pada
korban akibat kekerasan seksual semata-mata. Fakta menunjukkan bahwa yang
disebut korban dalam kerusuhan Mei 1998 adalah orang-orang yang telah menderita
secara fisik dan psikis karena hal-hal berikut, yaitu: kerugian fisik/material
(rumah atau tempat usaha dirusak atau dibakar dan hartanya dijarah), meninggal
dunia saat terjadinya kerusuhan karena berbagai sebab (terbakar, tertembak,
teraniaya, dan lain-lain), kehilangan pekerjaan, penganiayaan, penculikan dan
rnenjadi sasaran tindak kekerasan seksual.
Dengan demikian, korban dalam kerusuhan Mei lalu
dibagi dalam beberapa kategori sebagai berikut:
1. Kerugian Material:
Adalah kerugian bangunan, seperti toko,
swalayan, atau rumah yang dirusak, termasuk harta benda berupa mobil, sepeda
motor, barang-barang dagangan dan barang-barang lainnya yang dijarah dan/atau
dibakar massa. Temuan tim menunjukkan bahwa korban material ini bersifat lintas
kelas sosial, tidak hanya menirnpa etnis Cina, tetapi juga warga lainnya. Namun
yang paling banyak menderita kerugian material adalah dari etnis Cina.
2. Korban kehilangan pekerjaan:
Adalah orang-orang yang akibat terjadinya
kerusuhan, karena gedung atau tempat kerjanya dirusak, dijarah dan dibakar,
membuat mereka kehilangan pekerjaan atau sumber kehidupan. Yang paling banyak
kehilangan pekerjaan adalah anggota masyarakat biasa.
3. Korban meninggal dunia dan luka-luka:
Adalah orang-orang yang meninggal dunia dan
luka-luka saat terjadinya kerusuhan. Mereka adalah korban yang terjebak dalam
gedung yang terbakar, korban penganiayaan, korban tembak dan kekerasan lainnya.
4. Korban Penculikan:
Adalah mereka yang hilang/diculik pada saat
kerusuhan yang dilaporkan ke YLBHI/Kontras dan hingga kini belum diketemukan,
mereka adalah:
- Yadin Muhidin (23 tahun) hilang di daerah
Senen.
- Abdun Nasir (33 tahun) hilang di daerah Lippo
Karawaci;
-Hendra Hambali (19 tahun), hilang di daerah
Glodok Plaza;
-Ucok Siahaan (22 tahun), hilang tidak diketahui
di mana;
Jumlah Korban dan Kerugian
Sulit ditemukan angka pasti jumlah korban dan
kerugian dalam kerusuhan. Untuk Jakarta, TGPF menemukan variasi jumlah korban
meninggal dunia dan luka-luka sebagai berikut:
(1) data Tim Relewan 1190 orang akibat ter/dibakar,
27 orang akibat senjata/dan lainnya, 91 luka-luka;
(2) data Polda 451 orang meninggal, korban
luka-luka tidak tercatat;
(3) data Kodam 463 orang meninggal termasuk
aparat keamanan, 69 orang luka-luka;
(4) data Pemda DKI meninggal dunia 288 , dan
luka-luka 101 .
Untuk kota-kota lain di luar Jakarta variasi
angkanya adalah sebagai berikut:
(1) data Polri 30 orang meninggal dunia,
luka-luka 131 orang, dan 27 orang luka bakar;
(2) data Tim Relawan 33 meninggal dunia, dan 74
luka-luka.
Opini yang selama ini terbentuk adalah bahwa
mereka yang meninggal akibat kesalahannya sendiri, padahal ditemukan banyak
orang meninggal bukan karena kesalahannya sendiri. Perbedaan jumlah korban jiwa
antara yang ditemukan tim dengan angka resmi yang dikeluarkan pemerintah
terjadi karena pada kenyataannya begitu banyak korban yang telah dievakuasi
sendiri oleh masyarakat, sebelum ada evakuasi resmi dari pemerintah.
Korban-korban ini tidak tercatat dalam laporan resmi pemerintah.
Dengan mengacu Deklarasi PBB tentang Penghapusan
Kekerasan terhadap Perempuan, kekerasan seksual didefinisikan sebagai setiap
tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang mengakibatkan kesengsaraan
atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk
ancaman tindakan tertentu, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara
sewenang-wenang. Sementara bila dipakai rujukan dari hukum positif Indonesia
maka semua peristiwa kekerasan seksual tak dapat dijelaskan secara memadai dan
adil. Bentuk-bentuk kekerasan seksual yang ditemukan dalam kerusuhan Mei 1998
lalu, dapat dibagi dalam beberapa kategori, yaitu: perkosaan, perkosaan dengan
penganiayaan, penyerangan seksual/penganiayaan dan pelecehan seksual.
Kekerasan seksual dalam kerusuhan Mei 1998
terjadi di dalam rumah, di jalan dan di tempat usaha. Mayoritas kekerasan
seksual terjadi di dalam rumah/bangunan. TGPF juga menemukan bahwa sebagian
besar kasus perkosaan adalah gang rape, di mana korban diperkosa oleh sejumlah
orang secara bergantian pada waktu yang sama dan di tempat yang sama.
Kebanyakan kasus perkosaan juga dilakukan di hadapan orang lain. Meskipun
korban kekerasan seksual tidak semuanya berasal dari etnis Cina, namun sebagian
besar kasus kekerasan seksual dalam kerusuhan Mei l998 lalu diderita oleh
perempuan dari etnis Cina. Korban kekerasan seksual ini pun bersifat lintas
kelas sosial.
Tidak ada kepastian jumlah korban
Dari hasil verifikasi dan uji silang terhadap
data yang ada, menjadi nyata bahwa tidak mudah memperoleh data yang akurat
untuk menghitung jumlah korban kekerasan seksual, termasuk perkosaan. TGPF
menemukan adanya tindak kekerasan seksual di Jakarta dan sekitarnya, Medan dan
Surabaya.
Dari jumlah korban kekerasan seksual yang
dilaporkan yang rinciannya adalah:
1. Yang didengar langsung: 3 orang korban
2. Yang diperiksa dokter secara medis: 9 orang
korban;
3. Yang diperoleh keterangan dari orang tua
korban: 3 orang korban;
4. Yang diperoleh melalui saksi (perawat,
psikiater, psikolog): 10 orang korban;
5. Yang diperoleh melalui kesaksian
rokhaniawan/pendamping (konselor): 27 orang korban;
Korban perkosaaan dengan penganiayaan: 14 orang
korban:
1. Yang diperoleh dari keterangan dokter: 3
orang korban;
2. Yang diperoleh dari keterangan saksi mata
(keluarga): 10 orang korban;
3. Yang diperoleh dari keterangan konselor: 1
orang korban;
Korban penyerangan/penganiayaan seksual: 10
orang korban:
1. Yang diperoleh dari keterangan korban: 3
orang korban;
2. Yang diperoleh dari keterangan rohaniawan: 3
orang korban;
3. Yang diperoleh dari keterangan saksi
(keluarga): 3 orang korban;
4. Yang diperoleh dari keterangan dokter: 1
orang korban;
Korban pelecehan seksual: 9 orang korban:
1. Yang diperoleh dari keterangan korban; 1
orang korban;
2. Yang diperoleh dari keterangan saksi: 8 orang
korban (dari Jakarta dan Surabaya)
Akibat
1. Besarnya jumlah korban jiwa selama kerusuhan
disebabkan oleh telah terkumpulnya secara berpola terlebih dahulu jumlah massa
yang besar disekitar gedung-gedung pusat pertokoan yang kemudian pada awalnya
didorong memasuki gedung-gedung tersebut meninggal di dalam gedung yang
terbakar. Bahwa jumlah korban jiwa yang besar juga diakibatkan oleh sangat
lemahnya upaya penyelamatan, baik oleh masyarakat maupun instansi/aparatur.
Faktor kebakaran dan skala kerusuhan yang telah terjadi merupakan penyebab
utama dari kerugian materiil yang sangat besar.
2. Dari segi intensitas kekerasan terhadap
sebagian korban yang menjadi sasaran serangan, dimensi sentimen anti rasial
terhadap golongan etnik Cina yang latent merupakan faktor penyebab dominan yang
mudah diekspolitir untuk menciptakan kerusuhan. Faktor lain yang telah
menyebabkan penyerangan terhadap kelompok etnis Cina karena penyerangan awal
yang ditujukan terhadap toko-toko dan rumah- rumah milik golongan etnis
tersebut yang terkonsentrasi di beberapa wilayah tertentu.
3. Kekerasan seksual telah terjadi selama
kerusuhan dan merupkan satu bentuk serangan terhadap martabat manusia yang telah
menimbulkan penderitaan yang dalam serta rasa takut dan trauma yang luas.
Kekerasan seksual terjadi karena adanya niat tertentu, paluang, serta
pembentukan psikologi massa yang seolah-olah membolehkan tindakan tersebut
dilakukan sehingga melipatgandakan terjadinya perbuatan tersebut.
4. Sosial Ekonomi. Tekanan dan kesenjangan
sosial ekonomi yang diperparah oleh kelangkaan bahan pokok yang dialami
masyarakat, rawan terhadap pengeksploatasian sehingga melahirkan
dorongan-dorongan destruktif untuk melakukan tindak-tindak kekerasan
(perusakan, pembakaran, penjarahan dan lain-lain). Sebagian besar mereka yang
terlibat ikut- ikutan dalam kerusuhan pada dasarnya adalah korban dari keadaan
serta struktur yang tidak adil. Mereka berasal dari lapisan rakyat kebanyakan.
5. Adanya kesimpangsiuran di masyarakat tentang
ada tidaknya serta jumlah korban perkosaan timbul dari pendekatan yang
didasarkan kepada hukum positif yang mensyaratkan adanya laporan korban,
ada/tidaknya tanda-tanda persetubuhan dan atau tanda-tanda kekerasan serta
saksi dan petunjuk. Di pihak lain, keadaan traumatis, rasa takut yang mendalam
serta aib yang dialami oleh korban dan keluarganya, membuat mereka tidak dapat
mengungkapkan segala hal yang mereka alami.
Dari korban kekerasan seksual, khususnya korban
perkosaan yang berjumlah 14 orang, setelah diverifikasi terdapat dua kelompok
korban ditinjau dari sudut pendekatan positif dan empirik yaitu:
1. Fakta yang berasal dari korban langsung dan
IDI yang berdasarkan sumpah jabatan dan Protokol Jakarta sebanyak 3 orang.
2. Fakta yang berasal dari keluarga korban,
saksi, psikater/psikolog maupun rohaniwan/pendamping sebanyak 11 orang.
Dari temuan lapangan, banyak pihak yang berperan di semua
tingkat, baik sebagai massa aktif maupun provokator unytuk mendapatkan
keuntungn pribadi maupun kelompok atau golongan, atas terjadinya kerusuhan.
Kesimpulan ini merupakan penegasan bahwa terdapat keterlibatan banyak pihak,
mulai dari preman lokal, organisasi politik dan massa, hingga adanya
keterlibatan sejumlah anggota dan unsur di dalam ABRI yang di luar kendali
dalam kerisuhan ini. Mereka mendapatkan keuntungan bukan saja dari upaya secara
sengaja untuk menumpangi kerusuhan, melainkan juga dengan cara tidak melakukan
tindakan apa-apa. Dalam konteks inilah, ABRI tidak cukup bertindak untuk
mencegah terjadinya kerusuhan, padahal memiliki tanggung jawab untuk itu. Di
lain pihak, kemampuan masyarakat belum mendukung untuk turut mencegah
terjadinya kerusuhan
a). Perbaikan Kondisi Sosial Ekonom
Ø Kondisi Sosial Bangsa
Indonesia Setelah Tanggal 21 Mei 1998
Sejak krisis moneter yang
melanda pada pertengahan tahun 1997, perusahaan-perusahaan swasta mengalami
kerugian yang tidak sedikit, bahkan pihak perusahaan mengalami kesulitan
memenuhi kewajibannya untuk membayar gaji atau upah para pekerjanya. Para
pekerja yang diberhentikan itu menambah jumlah pengangguran sehingga jumlah
pengangguran diperkirakan mencapai 40 juta orang. Jumlah pengangguran yang
cukup besar ini hendaknya mendapat perhatian serius dari pemerintah. Sebab,
pengangguran dalam jumlah yang sangat besar ini akan menimbulkan terjadinya
masalah-masalah sosial dalam kehidupan masyarakat. Dampak susulan dari
pengangguran adalah makin maraknya tindakan-tindakan kriminal yang terjadi
dalam kehidupan masyarakat. Alasan yang sering muncul yakni
pernyataan-pernyataan seperti masalah ekonomirumah tangga yang di hadapinya
sehingga mereka melakukan tindakan kriminal tersebut.
Tuntutan reformasi
menghendaki adanya perubahan dan perbaikan di segala aspek kehidupan yag lebih
baik. Namun, ada praktiknya tuntutan reformasi telah di salahgunakan oleh para
petualang politik hanya untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Pada era reformasi,
konflik yang terjadi di masyarakat mekin mudah terjadi dan seringkali bersifat
etnis di berbagai daerah. Kondisi sosial masyarakat yang kacau akibat lemahnya
hukum dan perekonomian yang tidak segera kunjung membaik menyebabkan sering
terjadi gesekan-gesekan dalam masyarakat.
Beberapa konflik sosial yang
terjadi pada era reformasi di beberapa wilayah :
1. Kalimantan Barat
Konflik sosial yang terjadi
di Kalimantan Barat melibatkan etnik Melayu, Dayak, dan Madura. Kejadian
bermula dari tertangkapnya seorang pencuri di Desa Parisetia, Kecamatan Jawai,
Sambas, Kalimantan Barat yang kemudian dihakimi hingga tewas pada tanggal 19
Januari 1999. Kebetulan pencuri tersebut beretnis Madura, sedangkan penduduk
Parisetia beretnis Dayak dan Melayu. Entah isu apa yang beredar di masyarakat
menyebabkanpenduduk Desa Sarimakmur yang kebanyakan dihuni etnis Madura
melakukan aksi balas dendam dengan menyerang dan merusak segala sesuatu di Desa
Parisetia. Akibatnya, terjadi aksi saling balas dendam antaretnis tersebut dan
menjalar ke berbagai daerah di Kalimantan Barat.
2. Kalimantan Tengah
Pada tanggal 18 Februari
2001 pecah konflik antar etnis Madura dan Dayak. Konflik itu diawali dengan
terjadinya pertikaian perorangan antaretnis di Kalimantan Tengah. Ribuan rumah
dan ratusan nyawa melayang sia-sia akibat pertikaian antaretnis tersebut.
Sebagian pengungsi dari etnis Madura yang diangkut dari Sampit untuk kembali ke
kampung halamannya di Madura ternyata juga menimbulkan masalah di kemudian
hari. Kondisi Pulau Madura Yang kurang menguntungkan menyebabkan sebagian
warganya menolak kedatangan para pengungsi itu.
3. Sulawesi Tengah
Konflik sosial di Sulawesi
Tengah tepatnya di daerah Poso berkembang menjadi konflik antar agama. Kejadian
bermula di picu oleh perkelahian antar Roy Luntu Bisalembah (Kristen) yang
kebetulan sedang mabuk dengan Ahmad Ridwan (Islam) di dekat Masjid Darussalam
pada tanggal 26 Desember 1998. Entah isu apa yang berkembang di masyarakat,
perkelahian dua orang berbeda agama itu berkembang menjadi ketegangan
antaragama di Poso, Sulawesi Tengah. Konflik tersebut juga menyebabkan ratusan
rumah dan tempat ibadah hancur. Ratusan nyawa melayang. Konflik sempat mereda,
tetapi masuknya beberapa orang asing ke daerah konflik tersebut menyebabkan
ketegangan dan kerusuhan terjadi lagi. Beberapa dialog digelar untuk meredakan
konflik tersebut, seperti pertemuan Malino yang di lakukan pada tanggal 19-20
Desember 2001.
4. Maluku
Konflik sosial ynag dipicu
oleh konflik agama juga terjadi di Maluku. Kejadian diawali dengan bentrokan
antara warga Batumerah, Ambon, dan sopir angkutan kota pada tanggal 19 januari
1999. Puncaknya terjadi kerusuhan massa dengan diserai pembakaran Masjid
Al-Falah. Warga Islam yang tidak terima segera membalas dengan pembakaran dan perusakan
gereja. Konflik meluas menjadi antaragama. Namun, anehnya konflik yang semula
antaragama berkembang mnejadi gerakan separatis. Sebagian warga Maluku pada
tanggal 25 April 2002 membentuk Front Kedaulatan Maluku dan mengibarkan Bendera
Republik Maluku I Selatan (RMS) di beberapa tempat. Upaya menurunkan bendera
tersebut menimbulkan korban.
Dari beberapa kejadian itu terlihat betapa di
era reformasi terjadi pergeseran pelaku kekerasan. Di era orde baru, kekerasan
lebih banyak dilakukan oleh oknum ABRI daripada warga sipil. Namun, pada era
reformasi kekerasan justru di perlihatkan oleh sesama warga sipil. Masyarakat
semakin beringas dan hukum seperti tidak ada. Banyak kejadian kriminal yang
pelakunyaa tertangkap basah langsung dihakimi bahkan sampai meninggal oleh
masyarakat. Kinerja para penegak hukum sepertinya sudah tidak dapat dipercaya
lagi. Masyarakat sudah muak melihat berbagai kasus besar yang melibatkan
pejabat negara dan oknum militer tidak tertangani sampai tuntas meskipun mereka
dinyatakan bersalah.
Dampak reformasi juga
terlihat dari munculnya lembaga-lembaga yang menyuarakan aspirasi untuk
menyelidiki dan mengawasi pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di Indonesia.
Banyak kasus-kasus seperti korupsi dan pelanggaran HAM yang belum terselesaikan
yang terjadi pada masa Orde Baru sampai masa Orde Reformasi. Oleh karena itu,
sebagai sebuah momen untuk menyampaikan aspirasi, masa reformasi menjadi
orientasi bagi lembaga-lembaga penyelidik untuk menyelidiki kasus-kasus
pelanggaran, khususnya korupsi, hukum, dan HAM. Lembaga-lembaga tersebut antara
lain :
1. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(Komnas HAM)
Komnas HAM dibentuk pada
tanggal 7 Juli 1993 berdasarkan Keputusan Presiden No. 50 Tahun 1993, namun
pada tahun 1999 persoalan Komnas HAM diatur dalam Undang-Undang No. 39 Tahun
1999 tentang HAM. Fungsi Komnas HAM melaksanakan kajian, penelitian,
penyuluhan, penawaran, investigasi, dan mediasi terhadap persoalan-persoalan
hak asasi manusia. Tujuan Komnas HAM :
a. Mengembangkan kondisi yang kondusif bagi
pelaksanaan Hak Asasi Manusia sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, dan Piagam PBB
serta Deklarasi Universal hak asasi manusia.
b. Meningkatkan perlindungan dan penegakkan
hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan
kemampuannya berpartisipasi dlam berbagai bidang kehidupan.
Ketua Komnas HAM periode
2007-2012 adalah Ifdhal Kasim.
2. Mahkamah Konstitusi (MK)
Masalah Konstitusi adalah
salah satu kekuasaan kehakiman di Indonesia. Hal tersebut sesuai dengan UUD
1945 bahwa kekuasaan kehakiman di Indonesia dilakukan oleh Mahkamah Agung dan
Mahkamah Konstitusi. Berdirinya Mahkamah Konstitusi diawali dengan adanya
perubahan ketiga UUD 1945 dalam pasal 24 ayat (2), pasal 24 C, dan pasal 7b
yang disahkan pada tanggal 9 November 2001. UU yang mengatur tentang Mahkamah
Konstitusi RI yang pertama adalah No. 24 Tahun 2003. ketua Mahkamah Konstitusi
RI yang pertama adalah Prof. Dr. Jimly Asshiddique, S.H. (guru besar hukum tata
negara Universitas Indonesia) Prof. Dr. Jimly Asshiddque, S.H. terpilih pada
rapat internal antaranggota hakim ketua Mahkamah Konstitusi pada tanggal 19
Agustus 2003. Menurut UUD 1945 kewajiban dan wewenang Mahkamah Konstitusi
adalahsebagai berikut.
a. Berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final
untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus
pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu.
b. Wajib
memberi putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden dan
atau wakil presiden menurut UUD 1945.
Ketua Mahkamah Konstitusi
periode 2008-2011 adalah Mahfud M.D. dengan wakil ketua Abdul Mukhtie Fadjar.
3. Komisi Pemberanatasan Korupsi (KPK)
KPK adalah sebuah komisi
yang dibentuk tahun 2003 berdasarkan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk mengatasi, menanggulangi, dan
memberantas korupsi.
4. Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
DPD adalah lembaga negara
dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia yang merupakan wakil-wakil
daerah provinsi dan dipilih melalui pemilihan umum. Anggota DPD dari setiap
provinsi adalah empat orang. Masa jabatan anggota DPD adalah 5 tahun dan
berakhir bersamaan pada saat anggota DPD yang baru mengucapkan sumpah/janji.
Adapun tugas dan wewenang DPD antara lain sebagai berikut.
a. Mengajukkan RUU kepada DPR yang
berkaitan dengan otonomi daerah.
Pengajuan itu meliputi:
1. hubungan pusat dan daerah,
2. pembentukan, pemekaran, dan penggabungan
daerah,
3. pengelolaan sumber daya alam dan sumber
daya ekonomi lainnya, serta
4. perimbangan keuangan pusat dan daerah
b. Memberikan pertimbangan kepada DPR atas
RUU APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.
c. Memberikan
pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota badan pemeriksa keuangan (BPK)
d. Melakukan
pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah. Pelaksanaan
pengawasan daerah itu :
1. Pembentukan, pemekaran, dan penggabungan
daerah,
2. Hubungan pusat dan daerah,
3. Pengelolaan sumber daya alam,dan sumber
daya ekonomi lainnya, serta
4. pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan
agama.
e. Menerima hasil pemeriksaan keuangan
negara dari BPK untuk dijadikan pertimbangan bagi DPR tentang RUU yang berkaitan dengan APBN.
Alat kelengkapan DPD adalah
pimpinan, panitia Ad Hoc, Badan kehormatan, dan panitia panitia lain yang
diperlukan. ketua DPD untuk periode 2009-2014 adalah Irman gusman (sumatra
barat) dan wakil ketua Gusti Kanjeng Ratu Hemas (DIJ) dan La Ode Ida (sulawesi
tengah). untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugas DPD, dibentuk sekretariat
jendral DPD yang ditetapkan dengan keputusan presiden,dan personelnya terdiri
atas PNS. Sekretariat jendral DPD di pimpin oleh seorang sekretaris jendral
yang diangkat dan diberhentikan dengan keputusan presiden dan usul pimpinan
DPD.
Dengan adanya
lembaga-lembaga tersebut menunjukkan bahwa masih dibutuhkannya suatu badan yang
dapat mengawasi perkembangan Indonesia di Orde Reformasi ini. Karena ternyata
masih banyak ditemukan adanya pelanggaran yang berkaitan dengan korupsi, HAM,
dan hukum.
A. Kondisi Ekonomi dan
Politik Bangsa Indonesia Setelah Tanggal 21 Mei 1998
Sejak tanggal 13 Mei 1998
rakyat meminta agar Presiden Soeharto mengundurkan diri. Pada tanggal 14 Mei
1998 terjadi kerusuhan di Jakarta dan di Surakarta. Tanggal 15 Mei 1998
Presiden Soeharto pulang dari mengikuti KTT G-15 di Kairo, Mesir. Tanggal 18
Mei para mahasiswa menduduki gedung MPR/DPR dan pada saat itu ketua DPR/MPR
mengeluarkan pernyataan agar Presiden Soeharto mengundurkan diri. Hal ini
berpengaruh terhadap nilai tukar rupiah yang merosot sampai 15. 000 per dollar.
Dari realita di atas, akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto
mengundurkan diri dan menyerahkan kekuasaannya pada Presiden B.J Habibie.
Sehari setelah B.J. Habibie
dilantik sebagai presiden RI ke-3, beliau mengumumkan susunan Kabinet Reformasi
Pembangunan dan dilantik pada tanggal 23 Mei 1998. Di dalam kabinet baru ini,
Presiden Habibie mengikutsertakan beberapa menteri yang berasal dari luar
Golkar sebagai anggota kabinetnya. Namun hal ini bukan berarti kabinet Presiden
B.J. Habibie dapat begitu saja di terima, karena pemerintahan baru ini tetap
dianggap sebagai kelanjutan dari kekuasaan orde baru. Sementara itu para
pendukung reformasi sendiri terbagi menjadi dua, antara yang mendukung dan
menolak pemerintahan B.J. Habibie.
Selama kurun waktu setahun
pemerintahan B.J. Habibie telah mengadakan sejumlah langkah pembaharuan di
bidang politik, penyelenggaraan ekonomi. Upaya-upaya pembaharuan tersebut,
antara lain menyangkut beberapa hal penting, seperti tentang kebebasan pers,
pelepasan narapidana politik, kebebasan mendirikan partai politik,
penyelenggaraan sidang istimewa MPR pada bulan November 1998, dan pelaksaan
pemilu pada tanggal 7 Juni 1999, program rekapitulasi perbankan, pemisahan
kepolisian dan TNI, dan memberikan otonomi yang luas bagi provinsi Timor Timur.
Dalam masa tiga bulan kekuasaan
pemerintah B.J. Habibie, ekonomi Indonesia belum mengalami perubahan yang
berarti. Enam dari tujuh bank yang telah dibekukan dilikuidasi pemerintah pada
bulan Agustus 1998. Nilai rupiah terhadap mata uang asing masih tetap lemah, di
atas 10. 000 per dollar Amerika Serikat. Persediaan Sembilan bahan pokok di
pasaran juga semakin berkurang dan tidak berjalan seperti harganya meningkat cepat. Pada bulan Mei
1998, harga satu kilogram beras rata-rata Rp. 1000 namun harga tersebut sempat
naik menjadi Rp 3.000 per kilogram pada bulan Agustus 1998. Antrian panjang
masyarakat membeli beras dan minyak goring mulai terlihat di berbagai tempat.
Sejak berlangsungnya krisis moneter pada
pertengahan tahun 1997, ekonomi Indonesia mengalami keterpurukan. Hal tersebut
terlihat dari nilai rupiah yang masih bertahan di Rp 8.000, 00-Rp 9.000,00 per
dolar AS, keadaan perekonomian semakin memburuk dan kesejahteraan rakyat
semakin menurun. Pengangguran semakin meluas, karena segala usaha sudah tidak
cukup menguntungkan sehingga dilakukan perampingan dan pemutusan hubungan
kerja. Bahkan investasi dari dalam maupu lur negri tidak berjalan seperti
sebelumnya. Indonesia bukan lagi tempat investasi yang menarik bagi investor
luar negri. Akibatnya pertumbuhan ekonomi menjadi sangat terbatas dan
pendapatan per kapita cenderung memburuk sejak krisis 1997.
Dalam usaha meningkatkan
kesejahteraan kehidupan rakyat tersebut, pemerintah melakukan kebijakan sebagai
berikut.
1. Perluasan lapangan kerja secara terus
menerus melalui investasi dalam dan luar negeri seefisien mungkin.
2. Penyediaan barang-barang kebutuhan pokok
sehari-hari untuk memenuhi permintaan pada harga yang terjangkau.
3. Penyediaan fasilita ummu, sepereti
rumah, air minum, listrik, bahan bakar, komunikasi, angkutan dengan harga yang
terjangkau.
4. Penyediaan ruang sekolah, guru, dan
buku-buku untuk pendidikan umum dengan harga terjangkau.
5. Penyediaan klinik, dokter, dan
obat-obatan untuk kesehatan umum dengan harga yang terjangkau.
Di samping penanganan
masalah pengangguran dalam rangka meningkatkan kegiatan ekonomi masyarakat,
pemerintah hendaknya juga memperhatikan harga-harga produt pertanian Indonesia,
karena selama masa pemerintahan orde baru maupun krisis sejak tahun 1997 tidak
pernah berpihak kepada para petani. Oleh sebab itu, kehidupan petani Indonesia
rata-rata dalam keadaan miskin. Keadaan seperti ini hendaknya di ubah, agar
dapat memperbaiki nasib para petani.
Sejak jatuhnya Soeharto dan
naiknya Habibie menjadi presiden, terpilihnya presiden Abdurrahman Wahid (Gus
Dur) dan Megawati Soekarnoputri yang naik menggantikan Gus Dur bertugas untuk
meningkatkan kesejahteraan kehidupan rakyat dengan meningkatkan kehidupan
ekonomi masyarakat. Namun dengan kondisi perekonomian negara yang di tinggalkan
oleh pemerintahan Soeharto, tidak mungkin dapat diatasi oleh seorang presiden
dalam waktu yang singkat.
Pemerintah Indonesia pun
sebenarnya berusaha memulihkan keadaan ekonomi nasional dengan menjalin kerja
sama dengan Bank Dunia (World Bank) dan Dana Moneter Internasional (IMF).
Namun, kebijaksanaan ekonomi pemerintah Indonesia atas saran dua lembaga keuangan
dunia malah memperburuk situasi ekonomi nasional. Dua lembaga keuangan dunia
itu menyarankan agar subsidi pemerintah untuk listrik, BBM, dan telefon
dicabut. Akibatnya, terjadi kenaikan biaya pada ketiga sektor tersebut sehingga
rakyat makin terjepit. Atas desakan rakyat Indonesia, akhirnya pemerintah
memutuskan hubungan dengan dua lembaga keuangan pada masa pemerintahan presiden
Megawati Soekarnoputri. Para pemilik bank (bankir) di Indonesia juga ikut
memperburuk keadaan dengan membawa lari dana penyehatan bank (dana BLBI) yang
mereka terima. Maksud pemerintah sebenarnya baik, yaitu ikut membantu
menyehatkan bank akibat krisis keuangan yang menimpa. Akan tetapi, mental
mereka memang sudah rusak sehingga dana itu malah dipakai untuk hal lain
sehingga mereka tidak bisa mengembalikan.
PBB membentuk misi PBB di
Timor Timur atau United Nations Assistance Mission in East Timor (UNAMET). Misi
ini bertugas melakukan jajak pendapat. Jajak pendapat diselenggarakan tanggal
30 Agustus 1999. Jajak pendapat diikuti oleh 451.792 penduduk Timor Timur
berdasarkan kriteria UNAMET. Jajak pendapat diumumkan oleh PBB di New York dan
Dili pada tanggal 4 September 1999. Hasil jajak pendapat menunjukkan bahwa
78,5% penduduk Timor Timur menolak menerima otonomi khusus dalam NKRI dan 21,5%
menerima usul otonomi khusus yang ditawarkan pemerintah RI. Ini berarti Timor
Timur harus lepas dari Indonesia. Ketetapan MPR No. V/MPR/1999 tentang
Penentuan Pendapat Rakyat di Timor Timur menyatakan mencabut berlakunya Tap.
MPR No. V/MPR/1978. Selain itu, mengakui hasil jajak pendapat tanggal 30
Agustus 1999 yang menolak otonomi khusus.
Pada masa pemerintahan
Presiden Megawati Soekarnoputri, Aceh telah mendapat otonomi khusus dengan nama
Nanggroe Aceh Darussalam. Namun keinginan baik pemerintah kurang mendapat
sambutan sebagian rakyat Aceh. Kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tetap pada
tuntutannya, yaitu ingin Aceh merdeka. Akibatnya, di Aceh sering terjadi
gangguan keamanan, seperti penghadangan dan perampokan truk-truk pembawa
kebutuhan rakyat, serta terjadinya penculikan dan pembunuhan pada tokoh-tokoh
yang memihak Indonesia. Agar keadaan tidak makin parah, pemerintah pusat dengan
persetujuan DPR, akhirnya melaksanakan operasi militer di Aceh. Hukum darurat
militer di berlakukan di Aceh. Para pendukung Gerakan Aceh Merdeka ditangkap.
Namun demikian, operasi militer juga tetap saja menyengsarakan warga sipil
sehingga diharapkan dapat segera selesai.
Gejolak politik di era
reformasi juga ditandai dengan banyaknya teror bom di Indonesia. Teror bom terbesar
terjadi di sebuah tempat hiburan Legian, Kuta, Bali yang menewaskan ratusan
orang asing. Pada tanggal 12 Oktober 2002 bom berikutnya sempat
memporak-porandakan Hotel J.W. Marriot di Jakarta beberapa waktu lalu. Keadaan
yang tidak aman dan banyaknya teror bom memperburuk citra Indonesia di mata
internasional sehingga banyak investor yang batal menanamkan modal di
Indonesia. Kondisi politik Indonesia yang kurang menguntungkan tersebut
diperparah dengan tidak di tegakkannya hukum dan hak asasi manusia (HAM)
sebagaimana mestinya. Berbagai kasus pelanggaran hukum dan HAM terutama yang
menyangkut tokoh-tokoh politik, konglomerat, dan oknum TNI tidak pernah
terselesaikan secara adil dan jujur. Oleh karena itu, rakyat makin tidak
percaya pada penguasa meskipun dua kali telah terjadi pergantian pimpinan
negara sejak Soeharto tidak menjadi Presiden RI.